Label

Senin, 17 Oktober 2011

Salus Aegroti Suprema Lex Est, Tat Tvam Asi dan Kepedulian

Kemarin malam saya mendatangi "warung" di dekat rumah untuk sekedar berbelanja sedikit keperluan. Warung itu bernama Indomaret, salah satu toko serba ada kecil yang sekarang tengah ramai dibicarakan karena dianggap mematikan usaha-usaha kecil rumahan. Sebenarnya untuk mendukung ekonomi kecil seharusnya saya mendatangi warung tradisional yang jaraknya lebih dekat dengan rumah. Tetapi apa daya, barang yang saya butuhkan sudah pasti tidak tersedia di tempat tersebut, jadi dengan keteguhan hati saya melangkah menuju warung "Indomaret".

Sebetulnya bukan pro dan kontra tentang Indomaret yang akan saya ceritakan, hal tersebut di atas hanyalah cerita awal. Sekedar untuk mengisi ruang kosong di awal cerita. Cerita lebih lanjut adalah seusai saya menggunakan hak sebagai pembelanja, tentu saja saya juga harus menunaikan tugas sebagai pembeli yaitu membayar ke kasir. Malam itu pembeli agak ramai, mungkin karena hari Minggu malam, he, apa hubungannya?

Di antrian terdepan ada satu keluarga yang berbelanja agak banyak, yang jelas lebih dari tigaratus ribu rupiah yang mereka keluarkan untuk hasil belanjaannya. Kasir tentu saja menghabiskan waktu yang agak lama untuk menghitung-hitung belanjaan mereka. Lalu tepat di depan saya ada dua orang remaja perempuan, lengkap dengan Handphone mereka yang agak "jadul", sibuk menekan-nekan tombol keyboard sambil sesekali melirik kanan kiri. Sebagai seorang Oom-Oom otomatis saya memperhatikan perilaku mereka, maklum, si mbak Kasir lama sekali dalam menunaikan tugasnya.

Hingga pada suatu momen salah seorang dari gadis itu, tampaknya yang akan berbelanja, karena ia yang memegang belanjaan dan yang satu lagi hanya mengantar, tanpa sengaja menyenggol meja tempat memajang barang di depan kasir. Bagi yang pernah berbelanja ke toko swalayan kecil tersebut tentu paham bahwa di depan kasir selalu tertata barang-barang kecil untuk menarik perhatian pembeli. Dan karena senggolan itu terjatuhlah satu batang coklat "Beng-Beng". Kejadian tersebut hanyalah peristiwa biasa, tidak menjadi kehebohan di dalam toko.

Satu bungkus "Beng-Beng" terjatuh apa anehnya. Untuk saya yang mempunyai anak kecil, menjatuhkan barang di dalam toko adalah suatu hal yang sering terjadi. Yang menjadi perhatian saya adalah sikap sang remaja yang terlibat peristiwa itu. Gadis yang menjatuhkan berpura-pura tidak tahu bahwa ia menjatuhkan barang, sedang temannya sekali-kali melirik ke arah sang "Beng-Beng" tanpa berusaha untuk mengembalikannya ke tempat pajangan. Bukan sesuatu yang sulit. Sampai akhirnya mereka membayar dan meninggalkan toko.

Saya bukan berniat sok baik terhadap "Indomaret" karena toh saya tidak akan menerima "reward" berupa diskon ataupun penghargaan sebagai pelanggan yang berdedikasi, tetapi cuma "getek" untuk kemudian mengambil "Beng-Beng" tersebut dan mengembalikannya ke rak pajangan. Dengan hal itu juga saya tidak merasa menjadi lebih suci dan berhak masuk surga karena satu hal kecil tersebut. Tidak, hanya saja rasa "getek" itu membuat saya berpikir banyak, bahkan sampai saat ini sampai akhirnya tergoda untuk menulis "note" ini.

Suatu peristiwa yang sebenarnya sekilas tidak penting, tapi saya tidak bisa menghilangkan perasaan bahwa sikap yang mereka tunjukkan adalah tidak benar. Tapi dari sudut mana mereka bersalah? Undang-Undang? Peraturan Pemerintah? Peraturan Daerah? UU-ITE? Ayat-ayat dalam Kitab Suci? Etika Pembeli? Rasanya tidak ada. Jadi mereka sulit diperkarakan oleh Jampidsus atau Ketua KPK sekalipun. Tapi tetap saja terasa ada yang salah buat saya.

Kemudian saya teringat satu kalimat yang tertulis di Rumah Sakit Darmo, Surabaya. Yang kemudian dijadikan judul lagu oleh seorang seniman "ngaco" asal kota itu. "Salus Aegroti Suprema Lex Ext". Bertahun-tahun saya mencoba mengetahui arti kalimat itu, sampai salah seorang kenalan baru, mas Bambang Aroengbinang, menerangkan artinya yaitu "The Wellness of the Patient is the Most Important Law", eh bener ya nulisnya gitu mas? Satu kalimat yang menggambarkan bahwa sangat penting adanya perhatian untuk orang lain, bahkan hal itu adalah "The Most Important Law" bagi dokter dan perawat. Tentunya saat tulisan itu ditulis oleh tangan-tangan dokter dan perawat "jaman baheula". Entah apakah "law" itu masih terasa oleh pasien jaman sekarang.

Lagi, pikiran saya mengembara ke satu buku dari Eyang Proklamator kita, dimana ia bercerita kepada anaknya tentang satu kalimat dari India, yaitu "Tat Tvam Asi", aku adalah kamu dan kamu adalah aku. Seperti halnya kalimat "Salus Aegroti Suprema Lex Est" maka "Tat Tvam Asi" juga merupakan pelajaran untuk tidak menganggap orang lain tidak penting, karena dia adalah aku juga. Sehingga dalam bertindak sehari-hari kita akan selalu bertenggang rasa dan menjaga etika, yang rasanya tidak pernah dipelajari oleh lembaga pendidikan formal manapun, kecuali kursus-kursus kepribadian yang mahal itu mungkin.

Pada dasarnya penduduk bumi ini terdiri dari miliaran individu. Miliaran individu yang pada akhirnya dituntut untuk saling memperhatikan satu sama lain, karena saat tidak ada rasa kepedulian itu maka lingkungan kita akan bertambah buruk dan buruk lagi. Kejadian di atas hanyalah kisah tentang satu bungkus "Beng-Beng". Tetapi apa lagi yang tidak mereka pedulikan, andaikan satu hal yang remeh dan tidak membutuhkan banyak tenaga saja tidak mereka lakukan. Bagaimana pemahaman mereka tentang "Jangan membuang sampah ke sungai", "Jangan menyeberang sembarangan", "Jangan meludah", "Bayarlah dengan uang pas", "Jangan menghentikan Angkot di tikungan" dan aturan ataupun etika lain, yang mungkin tidak tertulis tetapi "harusnya" dapat dirasakan.

Hal ini adalah hal sepele yang sering kita temukan sehari-hari, tidak terlalu penting. Lalu menjadi "sesuatu banget" untuk saya karena hampir-hampir saya tidak bisa tidur membayangkan ekspresi dan raut wajah remaja-remaja putri itu. Tetapi "Tat Tvam Asi", andaikan saya adalah mereka maka apa yang akan saya lakukan? Ah, pasti akan saya ambil "Beng-Beng" itu dan mengembalikan ke tempatnya. Sulit untuk tidak melakukan hal itu. Ditambah lagi, saya akan mandi sedikit lebih bersih agar tubuh saya tidak berbau "hapeuk" seperti mereka. Hehe..., yang terakhir ini jangan terlalu dianggap serius ah.

Minggu, 07 Agustus 2011

Usulan Pemecahan Masalah Lalu Lintas di Kota Bandung

Sebetulnya akan sulit memecahkan masalah kesemrawutan lalu lintas di suatu kota tanpa penerapan zonasi secara ketat. Dimana peraturan harus ditegakkan, misalkan suatu wilayah yang sudah ditentukan untuk perumahan, tidak dimungkinkan untuk dibangun suatu tempat usaha seperti Mall atau perkantoran. Tetapi memandang situasi yang sudah berkembang di Kota Kembang ini maka masalah zonasi yang ketat sudah tidak memungkinkan untuk diberlakukan.

Jadi langsung ke masalah awal, yaitu lalu lintas, usaha yang pertama kali harus dilakukan adalah mengembalikan ruang lintasan kendaraan kembali kepada fungsinya dan mengurangi hambatan samping jalan. Berikut usulan perbaikan kondisi lalu lintas berdasarkan urutan skala prioritasnya :

• Perbaikan dan pembuatan drainase yang lebih memadai. Melimpahnya air limpasan permukaan ke jalan selama ini membuat hambatan lalu lintas dan juga mengurangi masa pakai aspal jalan. Selain itu genangan dan arus air selama terjadinya hujan juga dapat mengurangi kenyamanan bahkan membahayakan jiwa para pejalan kaki.

• Pembuatan jalur pejalan kaki (trotoar) yang baik dan nyaman. Jadi masyarakat yang akan berpindah tempat dalam jarak yang tidak terlalu jauh akan memilih berjalan kaki dibanding menggunakan kendaraan, baik kendaraan pribadi ataupun kendaraan umum, sehingga jumlah kendaraan di jalan dapat sedikit ditekan.

• Menjaga jalur pejalan kaki dari penyalahgunaan fungsi seperti penanaman pohon pelindung (atau pot tanaman dengan alasan penghijauan) di tengah-tengah jalur trotoar, penggunaan oleh pedagang pinggir jalan dan juga penggunaan sebagai tempat parkir kendaraan.

• Pembangunan gedung-gedung parkir oleh Pemerintah Kota. Selain mengurangi parkir di badan jalan maka gedung parkir ini juga lebih transparan dalam perhitungan pemasukkannya ke kas Pemkot. Biaya pembebasan lahan dan pembangunan gedung akan lebih murah dibandingkan pembangunan sarana transportasi massal modern seperti monorail.

• Pengaturan ulang jumlah dan jalur Angkutan Kota sehingga tidak menempuh jarak yang terlalu jauh. Selama ini banyak jalur angkutan kota yang bersinggungan dalam jarak yang cukup jauh, misalkan Jl. PHH Mustopha antara Jl. Pahlawan sampai Terminal Cicaheum. Dalam jarak sekian kilometer terdapat banyak jalur Angkutan Kota yang melintas secara bersamaan. Dampaknya harus disediakan sub-sub terminal yang merupakan penanda ujung dan akhir trayek.

• Untuk jarak tempuh yang jauh disediakan moda Angkutan Massal. Agar tidak bentrok kepentingan dengan angkutan jarak dekat maka harus diperhatikan agar moda Angkutan Massal ini tidak mudah dihentikan di sembarang tempat.

Memang untuk perbaikan kondisi perlalu-lintasan Kota Bandung diperlukan kemauan dan kerja keras dari seluruh Stake Holder kota. Tetapi jika hal inipun dari awal dianggap berat sehingga tidak memungkinkan untuk dikerjakan, maka rasanya tidak akan mungkin ada perubahan positif dalam masalah lalu lintas Kota Bandung.